Retro sebagai Wacana dalam Desain Komunikasi Visual


Retro sebagai Wacana dalam Desain Komunikasi Visual

Oleh Andrian Dektisa Hagijanto

ABSTRAK
Bagi sebagian orang, masa lalu menarik untuk dikenang dan ditampilkan kembali. Fenomena mengulang trend yang lalu atau disebut retro menjadi bagian aplikasi desain komunikasi visual. Dalam hal ini, retro yang merupakan produk masa lalu diasimilasikan dengan kebaruan yang merupakan produk kontemporer, tidak hanya mengusung semangat eklektik, revival, historisisme, rekonstruksi, dan duplikasi namun juga menciptakan sinergi unik untuk menarik perhatian.

Tulisan ini menyoroti tentang retro atau pengulangan, yang beragam definisinya baik sebagai bagian dari masa lalu maupun sebagai gejolak kreatif dan katarsis di era pasca modernitas, karena merupakan media bagi apresiasi, penghargaan, sindiran, dan lelucon teks dalam diskursus postmodern.

Kata kunci: retro, revival, eklektikisme, posmodernisme.

ABSTRACT
For some people, it is interesting to reminisce and expose the past. This phenomenon of reviving past trends, or called retro, becomes part of visual communication design applications. Retro is a past product that is assimilated to something new, that of a contemporary product; not only uplifting eclectic spirit, revival, historicism, reconstruction, and duplication, but also creating unique synergy to attract attention.

This paper focuses on retro or recurrence that varies in definitions as a part of the past or even as a creative vitality and catharsis of the postmodern era, because it is a medium for appreciation, awarding, insults, and humor in the postmodern discourse.

Keywords: retro, revival, eclecticism, postmodernism.

PENDAHULUAN
Dalam berbagai penampilan komunikasi visual di Indonesia belakangan ini muncul beragam gaya seni/desain, gaya visualisasi, dan aplikasi kreatifitas visual yang mengingatkan pada fenomena masa lalu antara lain seperti psychedelic, punk, dada, art nouveau, art and craft, art deco, indische mooi, bauhaus, new wave, dan sebagainya. Aplikasi tersebut dapat dilihat pada tata letak/layout, gaya visual, metode/teknikvisualisasi, unsur-unsur desain seperti jenis tipografi, warna, susunan hirarki visual, ataupun makna pesan-pesan itu sendiri. Aplikasinyapun tampak dalam sampul kaset, poster, iklan pada media cetak, iklan televisi. Bahkan, group-group musik masa kini menggunakan pendekatan gaya masa lalu untuk penampilannya. Salah satunya adalah Naif yang mempopulerkan kembali gaya psychadelic pada busana, asesoris seperti kacamata, ikat pinggang, gaya rambut sampai kepada skuter yang dipakainya. Lagu-lagunya mengingatkan orang pada era tahun 60-an. Salah satu iklan suplemen kesehatan menggunakan gaya Mesir kuno dengan visualisasi figur Cleopatra. Iklan kartu kredit menggunakan legenda ‘si Midas’. MTV-pun memakai gaya art nouveau dalam salah satu tampilan spot-nya.

Semangat menghadirkan/menampilkan/memvisualkan kembali nuansa/gaya-gaya lama disebut sebagai retro, yang menjadi istilah populer untuk mendefinisikan/menyebutkan model pengulangan-pengulangan yang disebut sebagai revival, alchimia, eklektik, historisisme, rekonstruksi, dan duplikasi. Menurut Longman Dictionary Of Contemporary English, pengertian ‘retro’ adalah deliberately using styles of fashion or design from the recent past. Pengertian ini ada hubungannya dengan definisi retrospective yakni
1. concerned with or thinking about the past; dan
2. a show of the work of an artist, that includes all the kinds of work they have done 1)

Retro menjadi bagian dari trend, dan teks baru untuk menyebutkan sesuatu yang pernah muncul dan muncul kembali. Retro dalam aplikasi kontemporer mengakulturasi unsur lama dengan kebaruan yang berupa gagasan, kemajuan teknologi visualisasi/pencitraan, dan menimbulkan kesan keluar dari paritas, dikemas menjadi satu kesatuan. Contohnya seperti pada iklan-iklan yang disebutkan di atas tadi. Semuanya menampilkan produk baru, figur model iklan masa kini (Inul, Marshanda, Agnes Monica, dll), dengan menggunakan teknologi tercanggih untuk produksinya. Iklan –sebagai wacana teks- menjadi berbeda dari ‘semangat’ teks rujukan. Retro hanya dipakai sebagai pendekatan untuk menampilkan suasana sebagai pembentuk kesan saja.

Di dalam komunikasi visual, iklan merupakan salah satu media pembentuk kesan. Dengan pendekatan visualisasi tertentu impresi yang timbul sengaja dihadirkan untuk mengingatkan khalayak pada fenomena masa lalu. Namun, sesungguhnya impresi nostalgik tersebut lahir karena cuplikan gaya ilustrasi/visualisasi/ikon yang didefinisi ulang dan tidak berhubungan dengan produk yang diiklankannya. Bahkan, seringkali antara produk dengan impresi nuansa retro tidak berhubungan; kedua unsur tersebut bersatu dan berbaur untuk menghasilkan sesuatu yang baru, aplikatif, dan menjadi bagian dari kebudayaan kontemporer.

Tulisan ini menyoroti tentang semangat kembali ke masa lalu, mengambil bentuk bagian masa lalu, sebagai pendekatan berkomunikasi visual.

KRITIK MODERNISME
Kebudayaan massa yang menjadi bagian tak terpisahkan dari modernisme menciptakan homogenitas dalam heterogenitas. Sebuah komunitas ‘dipaksa’ menerima universalisme dengan paradigma globalitas, sehingga unsur-unsur individualisme ditepikan. Dalam hal ini, isu sentral modernisme adalah dapat diterima/berfungsi guna/dibutuhkan pada semua lapisan masyarakat melalui pendekatan produksi massal.

Kebudayaan massa modernisme menimbulkan permasalahan baru bagi umat manusia; salah satunya adalah limbah industri dan berkembangnya pemikiran-pemikiran berbasis gejolak sosial menentang arus mainstream dari negara-negara adidaya/Barat. Di Amerika timbul berbagai gejolak akibat menentang perang Vietnam. Perang antara paham liberal dengan komunis, yang berkembang dan menciptakan kesadaran baru bahwa hegemoni pemenang perang dunia kedua tak mampu mengalahkan semangat dan militansi rakyat Vietnam yang merubah perang ideologi menjadi konflik patriotik mengusir imperialisme.

Keberadaan negara dunia ketiga mulai dilirik oleh komunitas negara maju. Isu-isu seperti persamaan hak, anti-perang, anti-nuklir, cinta damai, menjadi wacana baru. Selanjutnya merebak tuntutan pengakuan terhadap hak-hak individu yang mengalami disorientasi akibat modernisme. Timbul pemikiran-pemikiran yang bersifat alternatif, bersifat anti; anti kemapanan, anti gaya hidup serupa generasi sebelumnya, termasuk tatanan sosial yang diciptakan generasi pendahulu, seperti keharusan menikah, keharusanberkantor secara tetap dan mapan, keharusan berpakaian sesuai aturan/norma. Konsepsi baru tersebut memunculkan istilah-istilah yang menjadi bagian budaya kontemporer seperti: indie, retro, pemikiran kiri, semangat neo, idealisme sosialis, bahasa slank, dan perilaku-perilaku yang identik dengan semangat jiwa bebas, tanpa beban, dan memberontak. Mereka mengklaim diri sebagai Generasi X. 2)

Revolusi sikap yang melanda kaum muda dunia tersebut bagai sebuah virus yang berkembang dengan percepatan yang luar biasa akibat majunya teknologi informasi dan peradaban. Sikap hidup demikian memunculkan komunitas-komunitas eksklusif menentang arus mainstream melalui aplikasi-aplikasi dalam ruang ekspresi sosial mereka seperti musik rock, film-film underground, media indie, anti westernisasi/globalisasi, pemakaian obat-obat psikotropika (madat), gaya berdandan model punk, dan aplikasi-aplikasi pada desain komunikasi visual di medium komunikasi mereka. Reaksi ini juga sebagai bagian dari tindakan represif sistem kekuasaan yang menciptakan marjin kaku, dengan produk-produk kesewenang-wenangan seperti militerisme, sistem perundang-undangan, eksklusivitas yang mengedepankan kelompok tertentu misalnya kelompok cendekiawan, kelompok ahli, munculnya tribalisme dan mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompoknya sendiri.

Awalnya universalisme mampu mengatasi sikap tribalisme tersebut, namun ketika modernisme diredefinisi, segala aplikasi modernisme terkena imbasnya pula, lalu sikap primordialisme ini dipakai sebagai alasan pertikaian setelah perang ideologi.

FORM-FOLLOW-FUNCTION-FOLLOWS-FUN
Metode eklektikisme 3) menjadi telaah dalam posmodern karena menghasilkan gaya baru dari cukilan/mosaik/kombinasi masa lampau. Pengkombinasian tersebut oleh Swatch Catalogue seperti yang dikutip Pilliang (2003) 4) disebut sebagai form-follow-function-follows-fun. Pendekatan style dalam retro adalah memperlakukan gaya sebagai suatu bentuk komunikasi yang di dalamnya bukan lagi makna-makna dari pesan (function), melainkan eforia permainan bebas tanda-tanda dan kode-kode yang didalamnya terdapat plesetan, humor, kritik, yang diaplikasikan pada produk-produk konsumer.

Esensi retro sebagai wacana reaksi tampak pada gerakan Art & Craft yang timbul karena kritik terhadap industri modern yang mengubah desain kriya menjadi apa yang disebut International Style yang adalah sesuatu bersifat massal, dan tidak berjiwa. Art & Craft sebagai movement oleh seniman-seniman alumni Bauhaus pada 1950-an adalah retro yang menciptakan kembali ‘roh’ dan merekonstruksi makna alamiah pada desain kriya 5). Retro dalam Gerakan Art & Craft justru ‘menyelamatkan esensi, dan makna desain’ menjadi lebih berjiwa, dan eksklusif, karena subjektivitas kreator kembali diakomodir dalam desain yang diciptakan.

Retro menjadi wacana mencari kembali makna (meaning) untuk meredefinisi semangat dalam menciptakan suatu desain; hal ini seperti yang dikatakan Lyotard sebagai pramodern dalam mendefinisikan postmodern 6). Definisi ini mencerminkan ambiguitas pemaknaan era ‘setelah modern’ apakah menjadi bentuk baru ataukah kembali ke wacana lama, mengingat pada era pasca modern timbul suatu pemikiran yang merujuk kembali era klasik yang tampak pada gerakan mencari kembali makna agung, ruh, atau konsep pada karya desain yang merujuk pada seni masterpiece.

Retro sebagai gugatan pada modernitas dengan mencari kembali makna atas eksklusivitas desain, penghargaan setinggi-tingginya atas talenta seniman/desainer, dan semangat kembali ke alam yang seolah-olah mengkritisi modernitas dengan pemaknaan kembali sesuai dengan wacana berfikir era form-follow-meaning. Retro pada hakikatnya mengambil bagian dari masa lalu dan menjadi bagian dari pastiche, kitsch, parodi, dan camp hanya makna konseptual dan ekspresinya saja yang berbeda. 7)

Retro dalam makna pastiche 8 ) adalah mengimitasi satu bentuk gaya atau objek untuk tujuan kesenangan, melalui permainan bebas tanda, dan merayakan tanda ketimbang makna. Secara prinsip retro sebagai revivalisme adalah bentuk dari pastiche dengan genre yang sama seperti model rujukannya dan mempunyai penekanan pada persamaannya 9). Kebebasan merujuk gaya masa lalu menimbulkan tumpang tindih dan simpang siur kode-kode rujukan tersebut sehingga ungkapan bahasanya menjadi mati karena tidak memiliki konotasi dan kehilangan makna kontekstualnya 10). Dalam bahasa iklan parfum remaja dan album Naif, pendekatan gaya psychedelic yang dipakai menjadi tumpang tindih dengan konsep bahasa dan tanda psychedelic yang merupakan penanda dari budaya madat, penyalahgunaan obat psikotropika, yang dicabut begitu saja dan didefinisikan kembali tanpa mengacu pada pemaknaan asal dan menjadi sebuah sekedar bahasa estetika form-follow-fun.

Pada kitsch, ‘bahan baku’ konsumen –yang diambil dari masa lalu- direproduksi menjadi ikonik seni. Kitsch mengimitasi satu bentuk gaya atau objek untuk tujuan dan fungsi palsu. Misalnya reproduksi mulut figur dinosaurus dalam pintu masuk toko, atau figur gorila raksasa dalam film Kingkong pada eksterior atap toko di Cihampelas. Retro ada pada figur Kingkong beserta pesawat terbang remuk digenggaman tangannya; aplikasi demikian didefinisikan sebagai kitsch karena lemahnya manifestasi kriteria estetik.

Dalam aplikasi retro sebagai parodi, dikatakan oleh Bakhtin, dalam Pilliang (2003), bahwa parodi mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, dan tidak nyaman dengan menghadirkan oposisi/kontras terhadap teks, karya atau gaya satu dengan lainnya. Situasional kontras dan oposisi sengaja dipilih dengan seleksi terhadap teks, karya, atau gaya masa lalu. Karena tidak mungkin menghadirkan parodi tanpa pengalaman/referensi masa lalu yang kemudian direkonstruksi imitasinya. Menurut Linda Hutcheon seperti yang dikutip Pilliang (2003), parodi adalah suatu bentuk imitasi yang tidak murni karena mencirikan kecenderungan ironik. Pengulangan pada parodi bertendensi kritik dan menghasilkan efek kelucuan 11).

Lebih jauh Hucheon mengatakan bahwa persamaan antara pastiche dan parodi adalah kebergantungan pada teks, karya, atau gaya masa lalu yang dirujuknya. Perbedaannya retro yang diprojeksikan sebagai duplikasi, revivalism atau rekonstruksi pada diskursus pastiche merupakan bentuk ungkapan simpati, penghargaan, atau apresiasi, sebaliknya parodi sebagai ungkapan ketidakpuasan, dengan sindiran, plesetan, dan kelucuan 12), dan bahasa/teks yang pertama mengontrol bahasa/teks kedua.

Menurut Susan Sontag, camp adalah memuja masa lalu 13), meskipun masa lalu bukanlah satu-satunya inspirasi, hubungannya dengan masa lalu bersifat sentimentil. Camp adalah satu model ‘fenomena estetisme’, di mana estetik bukan dalam pengertian keindahan atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian kesemuan dan ‘penggayaan’ yang dicirikan oleh upaya-upaya melakukan sesuatu yang luar biasa, berlebihan, glamour, dan menjanjikan kesemuan sebagai model estetika. Menurut Pilliang (2003) camp menyanjung tinggi kevulgaran, tidak begitu tertarik pada sesuatu yang otentik atau orisinil, namun lebih kepada duplikasi dari apa-apa yang telah ditemukan untuk tujuan dan kepentingannya sendiri. Camp adalah satu bentuk yang mempunyai pengertian ‘menghasilkan sesuatu dari apa-apa yang sudah tersedia 14). Sebagai satu bentuk seni, camp menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual, dan gaya, dengan mengorbankan isi. Camp bersifat anti alamiah. Objek-objek alam, manusia, dan binatang kerap digunakan namun secara ekstrim dideformasi; dibuat lebih kurus, ramping, jangkung atau secara ekstrim dibuat lebih gendut, besar atau lebar. Salah satu contoh keartifisialan tentang hal ini dapat ditemui pada beberapa karya Art Nouveau dengan bentuk-bentuk tubuh yang panjang, yang bak melambai pada cetakan dan lukisan Beardsley, atau bentuk-bentuk dekoratif dan asimetri pada karya Guimard, Gaudi, dan Tiffani.

Perkembangan konsep estetisme tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat industri, yang kemajuannya sangat bergantung pada komoditi. Apa yang ditawarkan camp adalah antitesis dari konsep kemajuan itu sendiri. Di dalam masyarakat justru reproduksi yang dijunjung tinggi, yang menghasilkan sebuah dunia barang-barang konsumer dan menawarkan rangkaian variasi selera dan gaya tanpa batas. Camp lebih tertarik pada bagaimana makna diproduksi atau direproduksi, juga lebih tertarik pada gaya yakni bagaimana makna diproduksi ketimbang makna itu sendiri; camp selalu melibatkan unsur duplikasi.

Sontag menyimpulkan, dalam Pilliang (2003), bahwa ada keterkaitan antara camp dengan homoseksualitas. Di Amerika, komunitas Gerakan Kebebasan Gay menggunakan camp secara intensif sebagai senjata politik. Aksi-aksi Front Pembebasan Gay dilakukan sekelompok pria menggunakan pakaian wanita. Namun, subversivitas camp hanya dalam batas-batas kebudayaan dan ideologi, bukan pada politik praktis kelompok gay tersebut. Menurut Kaplan 15) kecenderungan camp postmodern adalah kecenderungan mengangkat kembali ideal-ideal camp masa lalu seperti Art Nouveau, Art Deco, ornamen androgyne 16), dan bentuk artifisial.

PEMAKNAAN RETRO DALAM APLIKASI DESAIN
Perubahan desain seiring dengan dinamika pola pikir masyarakat, trend, mode, dan kebudayaan. Makna revisibilitas pada desain serupa dengan ilmu-ilmu empirik. Mengingat fleksibilitas dan relativitas pada desain yang lebih ‘bebas’ di banding ilmu pasti, maka revisibilitasnyapun lebih tinggi.

Dalam aplikasi desain, banyak ditemui model perancangan memakai pengulangan sesuatu yang pernah ada. Semenjak semangat renaissance -yang mengembalikan kejayaan Romawi 17)-, manusia mendefinisikan ulang konsep-konsep retro menjadi beragam aplikasi, dengan motif tertentu yang bersifat transformatif. Klasisisme menjadi salah satu aplikasi retro yang cukup penting, menjadikannya model dan menciptakan semangat 18).

Dalam kaitan menghadirkan romantisme kejayaan masa lalu, PSSI menggunakan kembali desain kostum kesebelasan nasional era tahun 50 sampai 60-an di mana kejayaan sepakbola masih menjadi milik Indonesia. Namun ironisnya, para pemain sekarang yang rata-rata berusia muda (kelahiran tahun 1980-an), kurang menjiwai semangat kejayaan tersebut sehingga unsur retro sebagai ikon menghadirkan romantisme kejayaan persepakbolaan Indonesia menjadi kurang efektif. Pada retro, unsur-unsur lama menjadi referensi (menciptakan berdasarkan model terdahulu), atau re-evaluasi (memberi nilai baru), atau restorasi (mengembalikan/pemulihan), atau retrofleksi (keadaan membengkok ke arah belakang) atau berkembang menjadi retrogesif (bersifat mundur;bertambah buruk), atau bahkan deformasi. Retro menjadi semacam gerakan romantik dan menjadi katarsis dalam proses menghasilkan suatu karya desain.

Dalam kaitan gerakan revival, retro menjadi semangat untuk mengembalikan makna agar desain memperoleh kembali ekslusivitasnya. Hal ini nampak dalam gerakan Art & Craft dan Art Nouveau, yang menempatkan retro sebagai katarsis emosi kreatif seniman. Dalam gerakan Bauhaus, retro dipakai sebagai reinterpretasi seni ekspresionisme namun ditransformasikan kedalam pendekatan rasional. 19) Pendekatan yang seolah kontradiktif tersebut, karena wacana seni ekspresionisme yang mempunyai subyektivitas tinggi, dipakai sebagai ‘standard of excellence’ nilai estetika dan fungsionalis yang abadi dan universal. Proses yang kontradiktif ini mungkin saja terjadi karena adanya asimilasi kebutuhan antara desainer dengan penikmat/pengguna desain.

Pada Futurism dan Construktivism (dua gerakan romantik yang menjadi garda depan desain di Italia dan Rusia) digunakan Kubisme sebagai pendekatan retro-nya. Ironisnya, awal munculnya gerakan Kubisme adalah sebagai pemutusan hubungan masa lalu dan penolakan tradisi. Namun pada Futurism dan Construktivism, Kubisme mengalami re-evaluasi nilai-nilai intrinsiknya sehingga mengakomodir nilai-nilai masa lalu dan tradisi.

Ketika Picasso melukis ‘Les Demoiselles d’Avignon’ pada tahun 1907 ia mengambil (baca: me-retro) unsur-unsur primitif Iberia dan bentuk topeng kuno Afrika. Menurut para kritikus seni, lukisan itu sebagai visualisasi konflik pemikirannya tentang seks 20). Menurut para kritikus seni, metode retro pada lukisan Picasso tersebut dipakai sebagai visualisasi pertentangan pemikirannya antara faham kuno Iberia dan Afrika dengan revaluasi deformatif pada definisi seks, dari konsep ‘tugas alam’ menjadi reproduksi, kesenangan, maupun eforia, sebuah konsep seksual yang ambigu. Inikah model pendekatan camp ataukah mendefinisikan konsep seks kuno sesuai pola fikir masyarakat tahun 1907 melalui media lukisan.

Retro dalam konsep menambah gaya/menggayakan muncul dalam Art Deco, yang merupakan gerakan era akhir modern yang memvisualkan simbol-simbol kemajuan jaman dengan ornamen dekoratif yang digayakan. Art Deco menggunakan retro gaya Cubism, Fauvism, Gaya Mesir dan Indian Aztec. Estetika Art Deco adalah modernistik yaitu perpaduan antara bentuk baru yang disederhanakan dengan kecenderungan dekoratif lama 21). Art Deco dikritik sebagai gerakan tanpa ideologi, berisi kebebasan, anarkis, dan suasana karnaval. Kritikan tersebut terjadi mengingat gaya ini timbul pada masa modern akhir, dimana terjadi pendekonstruksian teks dan konsep makna penanda. Pemaknaan retro model begini dianggap merupakan retrogresif (bersifat kemunduran) karena kriteria yang dipakai untuk mengkritisi memakai konsep form follow meaning. Apabila menggunakan konsep berorientasi pada konsumen tentu berbeda, sebab Art Deco adalah memenuhi fantasi futuristik konsumen.

Retro pada Pop Art mengambil unsur-unsur tradisional Amerika dan unsur-unsur yang berasal dari idiom dalam media massa koran ataupun komik, seperti teknik pewarnaan datar/blok, pemakaian outline pada gambar dan photo montage. Unsur sisi tradisional pada Pop Art, menurut Adityawan (1999), 22) adalah tipe huruf, ornamen- ornamen etnik, dan semangat mengangkat kembali gaya Art Deco, Art Nouveau. Desain-desain Pop Art ini dipakai sebagai media ekspresi dari gerakan-gerakan protes sosial seperti lingkungan hidup, anti perang Vietnam, persamaan gender, anti kemapanan, dan musik rock (alternatif). Salah satu gaya yang terkenal dari Pop Art adalah psychedelic art, yang menurut Meggs (1992) gaya ini dikaitkan dengan persepsi kecanduan obat-obatan psikotropika. Kebanyakan para pedesain komunikasi visual memakai gaya ini karena tuntutan klien grup musik rock dan promotor pertunjukan panggung 23). Esensi visualisasinya adalah taburan kilau warna-warni cahaya pada stage beserta penyanyi dan penari latarnya.

Secara visual ciri psychedelic art adalah penggunaan warna terang, cerah dan kombinasi warna komplementer (misalnya hijau dan merah, atau oranye dan ungu), memakai garis dan bentuk yang lentur sehingga gambar menjadi tidak realis, atau kurang jelas, tipografi kehilangan legibilitasnya karena bentuk yang melengkung berirama. Foto ditampilkan dengan kontras tinggi, hitam putih atau mengikuti warna komplementer yang dipakai 24). Awal retro pada psychedelic art adalah dengan meretrospeksi Art Deco dan Art Nouveau menjadi bentuk yang retrogesif atau bersifat mundur, karena pemaknaan pada desain yang merujuk pada budaya madat. Namun pada gaya desain kontemporer yang dipakai saat ini, justeru retro gaya psychedelic dipakai untuk merujuk atmosfir era 60-an tanpa mengkaitkan dengan asumsi madat, musik rock, budaya anti, dan konotasi negatif lainnya. Ini sekaligus menjadi ‘kenangan kembali’ yang merevaluasi/mereformasi nilai psychedelic menjadi lebih ‘beradab’. Tetapi sebagai diskursus penanda, gaya retro psychedelic kontemporer menjadi sekedar mengungkapkan kembali kenangan ‘pandang balik’ belaka tanpa makna transenden, serta menjadi bagian dari konsep ‘suka-suka’ belaka. Akhirnya, retro pada era kontemporer sangat mungkin tidak sekedar menjadi alternatif rujukan bagi penciptaan gagasan baru, namun menjadi sebuah konsep yang transformatif -yang berubah-ubah bentuknya-; retro menjadi sesuatu yang sifatnya sementara, tak sempurna, dan dapat dikaji ulang, diperbaiki, bahkan ‘dirusak’ lagi makna filosofisnya.

Retro yang dipakai sebagai fenomena, media, bahkan wacana dalam diskursus posmodern menjadi model-model aplikasi yang bersifat eksperimental, fleksibel, subtil, tanpa makna dan subjektif, namun menjadi trend, mode, bahkan disukai masyarakat, sama seperti konsep Studio Alchimia yang menerapkan hal tersebut sebagai wujud revivalism dalam desainnya 25). Dalam hal ini, Victor Papanek mengkomentari Studio Alchimia sebagai ‘stylistic protest movements-primarily in the field of furniture-that tried to expose the visual poverty of the late Modern Movement through promoting non- functioning devices 26)’

SIMPULAN
Retro memberikan fenomena alternatif dalam pendekatan desain komunikasi visual. Sebagai gaya romantik, retro tidak hanya sekedar mengambil masa lalu untuk menghadirkan kembali kenangan, namun dapat didefinisikan menjadi beragam makna, memberi definisi baru, menunjukkan nilai baru dengan memperbaiki, memulihkan, bahkan bersifat mundur, ‘merusak’ dan membengkok dari konsep semula.

Retro menjadi diskursus postmodern karena dianggap bagian dari kitsch, pastiche, parodi, dan camp yang masing-masing mencari definisinya pada retro dengan berbagai tinjauan konseptualnya karena fenomena retro makin menunjukkan sebagai wacana yang tak berbentuk, dan tiada bermakna sebagaimana konsep posmodern ‘form follow fun’. Pada diskursus era tersebut, function yang semula diusung oleh model atau petanda pada era sebelumnya menjadi bernilai ambigu ketika mengalami retro. Dengan kondisi itu pula, masing-masing subjek ataupun objek yang ‘berkomunikasi’ menggunakan retro, menemukan katarsisnya tanpa merasa bertanggung jawab atas konsep nilai atau kontribusi yang diusungnya sebagaimana contoh iklan pewangi pakaian yang mengangkat retro gaya psychedelic. Ketika ‘konsep’ dan ‘telaah’ psychedelic dipakai sebagai acuan untuk mengkritisi/menemukan ‘nilai’ dan ‘makna’ iklan tersebut, menjadi sebuah hal yang sulit, sebab nilai yang dipakai adalah kebaruan, dan semangat yang dipakai adalah simulasi budaya konsumen, dan konsep komunikasinya mengacu pada trend dan model yang tengah disukai tanpa perlu mencari makna filosofis bagi pendekatan retro tersebut. Inilah yang terjadi pada retro di masa kontemporer.

1) Longman Dictionary Of Contemporary English, h.1213.
2) Paul Fussel dan Douglas Coupland dalam Kompas, 11 September 2000 menyebut istilah ini menjadi fenomena anak muda yang menolak kemapanan, menolak apa yang ditetapkan oleh generasi orang tua mereka -Generasi Baby Boomers, yang berhasil hidup sukses dengan ngotot bekerja, punya rumah serta mobil mewah sebagai indikator keberhasilan kehidupan-. Sebaliknya, Generasi X ini dicitrakan di Australia sebagai kelompok komunitas anak muda anak orang kaya yang bermalas-malasan, menolak kerja dan tanggung jawab, punya rumah dekat pantai agar dapat mandi sinar matahari, dan bersenang-senang. Penolakan tuduhan bagi Generasi X ini dengan menyebutkan bahwa mereka tetap punya tujuan hidup, melewatkan sebagian waktu untuk bekerja dari rumah dengan memanfaatkan teknologi, lalu keluar rumah untuk surfing atau sekedar bergolekan di hangatnya pasir pantai.
3) Eklektikisme adalah kombinasi berbagai gaya dari berbagai seniman, periode, atau kebudayaan masa lalu, dan meramunya menjadi satu gaya baru.
4) Pilliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003, h.205
5) Arief Adityawan, Tinjauan Desain, Dari Revolusi industri hingga Postmodern, Penerbit Untar, Jakarta1999, hal. 102
6) Herlianto, Posmodern, artikel di www.in-christ.net/yba yang didownload 10 Juni 2001
7) Pilliang, ibid. Hal 254
8 ) Menurut Susanto, Mikke dalam Diksi Rupa, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal. 84. Pastiche adalah penyusunan elemen-elemen yang dipinjam dari perbagai pengarang atau seniman masa lalu, yang miskin orisinalitas. Pastiche mengambil pelbagai gaya dan bentuk dari kepingan sejarah, mencabutnya dari semangat zamannya dan menempatkan dalam konteks kekinian.
9) Hucheon dalam Pilliang (2003) mencontohkan misalnya bahasa arsitektur Romawi yang dihidupkan kembali dalam arsitektur postmodernisme, di mana imitasinya lebih bebas karena tidak terikat pada satu teks saja, melainkan terjadi pengkombinasian yang interstyle.
10) Menurut Venturi, Brown & Izenour, Learning From Las Vegas, The MIT Press, Massachusetts, 1989, di Las Vegas dapat disaksikan simpang siur dan tumpang tindihnya bahasa-bahasa Mesir Kuno, Romawi, Renaisans, cowboy, dan sebagainya.
11) ibid. Hal 214
12) ibid, hal 215
13) Susanto, Mikke, Diksi Rupa, Kumpulan Istilah Seni Rupa, Penerbit Kanisius, Jogjakarta,2002, hal.25
14) Menurut Pilliang, bahan baku camp adalah kehidupan sehari-hari, atau lebih tepatnya fragmen-fragmen dari realitas dalam kehidupan nyata, seperti Marilyn Monroe, pakaian wanita, seragam militer, seragam buruh, Art Deco, yang diproses dan didistorsi sedemikian rupa, sehingga ia menjadi bukan dirinya sendiri- menjadi artifisial.
15) Pilliang, ibid, hal.227
16) Menurut Kaplan, J, Louise, dalam Female Perversion, Penguin Books, 1991. Androgyne adalah suatu bentuk penolakan perbedaan seksual yang alamiah, misalnya yang indah pada konsep diri seorang pria adalah sesuatu yang feminim;dan apa yang memikat pada diri seorang wanita adalah sesuatu yang maskulin.Androgyne adalah pengelabuhan akan kebenaran seksual melalui gaya, dengan menciptakan bentuk-bentuk daya pikat seksual, kesenangan seksual yang direkayasa sendiri dengan mengaburkan kategori- kategori seks yang normal.
17) Dalam gerakan renaissance, terdapat istilah ‘gaya gothic’ yang artinya ‘gaya orang barbar’ dan merupakan sindiran kaum renaissance terhadap gaya arsitektur Suger yang menentang arus mainstream retro Yunani dan Romawi kuno tersebut.
18) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal 507, Klasisisme adalah peniruan langgam seni (kebudayaan, sastra) Yunani dan Romawi kuno, yang ditandai dengan pengutamaan bentuk, kesederhanaan, dan penguasaan emosi, seperti yang terjadi pada abad ke 18.
19) Adityawan, Tinjauan Desain, Dari Revolusi Industri hingga Posmodern, Penerbit Universitas Tarumanagara, Jakarta, 1999.Hal. 62
20) ibid, hal. 37
21) ibid, hal.67
22) Adityawan, ibid, hal 101
23) Megs, Phillip B, A History of Graphic Design, New York: Van Nostrand Reinhold, 1992, Hal. 442
24) Adityawan, ibid, hal. 104
25) Alessandro Mendini, salah seorang penganjur desain posmodern dari Italia yang mendirikan studio Alchimia menggunakan teknik ketrampilan tangan, warna, dan bentuk dekoratif ataupun simbol-simbol masa lalu (sebagai wujud revivalisme). Konsep Studio Alchimia ini adalah kenangan dan hal-hal yang tradisional adalah penting. Dan menggunakan model-model eksperimental dalam produksi desainnya.
26) Papanek, Victor, The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design and Architecture, Thames and Hudson, London, 1995, hal. 55

KEPUSTAKAAN
Adityawan, Tinjauan Desain, Dari Revolusi Industri hingga Posmodern, Penerbit Universitas Tarumanagara, Jakarta, 1999.
Diah Marsidi, ”Baby Boomers”, Generasi X dan Gaya Hidup, Artikel pada Kompas, 11 September 2000.
Herlianto, Postmodern, artikel di www.in-christ.net/yba yang didownload 10 Juni 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991. Kaplan, J, Louise, Female Perversion, Penguin Books, New York, 1991.
Longman, Dictionary of Contemporary English, 3d Edition, Longman, 2001. Megs, Phillip B, A History of Graphic Design, New York: Van Nostrand Reinhold, 1992.
Papanek, Victor, The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design and Architecture, Thames and Hudson, London, 1995.
Pilliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.
Susanto, Mikke, Diksi Rupa, Kumpulan Istilah Seni Rupa, Penerbit Kanisius, Jogjakarta,.2002.
Venturi, Brown & Izenour, Learning From Las Vegas, The MIT Press, Massachusetts, 1989.

Download materi > Retro sebagai Wacana dalam Desain Komunikasi Visual

Sumber: Desa Informasi > Pusat Penelitian (Research Centre) Petra Christian University

“Desa Informasi” or “Information Village” is the name adopted for the Local eContent (digital information resources with local flavor) development project being carried out in Petra Christian University Library.

“Desa Informasi” can also play an important role in preserving (at least) digitally local historical and cultural heritage, thus preserving the collective memory of a local society.

All Local eContent collections are available for everyone through the Internet for free. Some Local eContent collections are currently available in “Desa Informasi,” such as Surabaya Memory, Digital Theses, eDIMENSI, Petra@rt Gallery, Petra iPoster, and Petra Chronicle.

Andrian Dektisa Hagijanto
Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual
Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra


Leave a Reply